Tahun 2024 menandai LSP Penulis dan Editor Profesional berkiprah lebih dari lima tahun dalam sertifikasi kompetensi. LSP yang didirikan oleh organisasi profesi Perkumpulan Penulis dan Editor Profesional (Penpro) sampai saat ini merupakan satu-satunya LSP yang menyelenggarakan sertifikasi profesi untuk penulis dan editor.
Di tengah kegamangan menyatakan apakah penulis buku dan editor buku itu profesi atau bukan, Penpro merespons pengakuan regulasi terhadap pelaku perbukuan. Regulasi tersebut adalah UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan.
Maka dari itu, jika ia dianggap sebagai profesi, tentu wajar disusun sebuah standar kompetensi kerja. Penpro kemudian menginisiasi disusunnya Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK) untuk jabatan kerja Penulis Buku Nonfiksi dan jabatan kerja Editor. SKKK itu disahkan oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Kementerian Ketenagakerjaan.
Tahun 2019 setelah LSP PEP disahkan sebagai LSP P-3 (Pihak Ketiga) oleh BNSP dengan nomor lisensi KEP.0135/BNSP/III/2019, sertifikasi penulis dan editor pun dimulai. Ribuan penulis dan editor mengikutinya.
Walaupun demikian, ada kritik dan penentangan terhadap sertifikasi ini. Pertanyaan lazim, yaitu untuk apa penulis dan editor disertifikasi? Tampaknya pertanyaan itu juga diajukan kepada profesi lain, misalnya untuk apa praktisi humas (PR) disertifikasi? Mungkin juga untuk apa wartawan disertifikasi?
Saya sendiri sebagai penggagas awal sertifikasi itu telah masuk ke industri penulisan dan penerbitan sejak tahun 1994 dan pada periode 1991–1998 saya habiskan menempuh pendidikan editologi dan ilmu penerbitan setingkat D-3 dan S-1. Saya merasakan penghargaan dan pengakuan yang minim terhadap profesi penulis buku dan editor buku di Indonesia.
Ide tentang sertifikasi saya pahami bukan sebagai satu-satunya jalan untuk mendapat penghargaan dan pengakuan. Namun, patut diperjuangkan sebagai bukti kompetensi yang diakui oleh negara dan dunia internasional.
Dunia Kampus Merespons
Animo terbesar sertifikasi penulis buku dan editor ternyata datang dari kampus. Hingga 2023, LSP PEP telah menyertifikasi lebih kurang 11.000 orang utamanya dosen dan mahasiswa. Adapun dari kalangan profesional seperti penerbit, tidak terlalu banyak.
Ada yang mengaitkan animo kampus itu dengan momentum Kampus Merdeka ketika kebijakan indikator kinerja utama (IKU) dan beban kerja dosen (BKD) digulirkan oleh Kemendikbudristek. Sertifikasi profesi untuk dosen memang termasuk bagian dari indikator kinerja, baik kampus sebagai organisasi maupun dosen sebagai individu.
Namun, saya memandang lebih jauh dari itu bahwa IKU dan BKD hanya sebuah instrumen untuk mengukur ketercapaian yang salah satunya melalui sertifikasi profesi. Sertifikasi seperti penulis buku dan editor bukan semata- mata untuk menambah poin IKU atau BKD, melainkan juga bentuk kesadaran kompetensi bahwa seorang dosen benar-benar layak disebut sebagai penulis buku dan editor buku.
Faktanya tidak semua dosen, bahkan yang sudah bergelar doktor dapat lulus uji kompetensi. Dosen yang tidak lulus uji kompetensi paling banyak pada skema penyuntingan naskah karena meskipun mereka mengaku pernah bekerja sebagai editor, pengetahuan dan keterampilan saat uji tidak menunjukkan mereka kompeten. Alhasil, beberapa dosen mendapatkan predikat belum kompeten (BK).
Ada yang mengajukan protes atau banding, tetapi akhirnya memahami bahwa mereka memang belum kompeten dalam pandangan asesor kompetensi. Hal itu juga menunjukkan bahwa bidang penulisan buku dan penyuntingan memiliki basis teori, keterampilan, dan sikap yang perlu dipelajari dan didalami.
“Ada yang mengajukan protes atau banding, tetapi akhirnya memahami bahwa mereka memang belum kompeten dalam pandangan asesor kompetensi.”
Ilmu Cair
Membaca, menulis, dan menyunting itu dipahami bagian dari literasi dasar. Ilmu menulis secara teoretis sudah lama dikenal sejak munculnya institusi penerbit, buah dari disempurnakannya mesin cetak oleh Gutenberg. Sejak penemuan itu, terjadi publikasi besar-besaran sehingga penulis menemukan momentum untuk berkarya secara cepat dan publikasi massal.
Ilmu menyunting berkembang juga, tetapi secara formal yang disebut editologi baru muncul tahun 1960-an. Di Indonesia untuk kali pertama pelatihan penyuntingan diinisiasi oleh Ikapi Jaya (sekarang Ikapi DKI) pada tahun 1980-an. Di penghujung 1980-an, tepatnya 1988, Prof. Jusuf Sjarif Badudu, Guru Besar di Fakultas Sastra, Unpad, mendirikan Sub- program Studi Editing di bawah Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Editologi mulai dipelajari sebagai pendidikan vokasi.
Ilmu menulis dan menyunting sejatinya pengetahuan dan keterampilan yang “cair” tanpa melihat latar belakang pendidikan seseorang. Semua jurusan atau semua prodi berkepentingan dengan kompetensi menulis dan menyunting karena semuanya harus menghasilkan publikasi ilmiah.
Urgensi Sertifikasi Dosen sebagai Penulis dan Editor
Wajar jika sertifikasi profesi penulis dan editor menjadi penting bagi semua dosen, bahkan termasuk mahasiswa. Ilmu yang “cair” itu harus dikuasai sehingga praktik pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat dapat dibuktikan melalui karya tulis yang bermanfaat dan bermutu.
Pada ujungnya dosen harus mampu menghasilkan paling tidak satu atau beberapa karya tulis berikut ini:
buku ajar/buku teks;
modul untuk pembelajaran jarak jauh; monografi riset;
buku referensi/ilmiah populer;
buku rujukan (kamus, ensiklopedia, katalog, dsb.); dan
buku suntingan (edited book) yang menghimpun bab buku (book chapter).
Selain itu, dosen harus kompeten menyunting atau menelaah karya tulis apabila ia berkedudukan sebagai dosen pembimbing, editor naskah (termasuk editor book chapter), mitra bestari/penelaah, penilai buku dalam kurasi buku pendidikan, dan juri sayembara menulis.
Banyaknya dosen yang kompeten menulis buku dan menyunting buku menjadi prestise dan prestasi sendiri bagi kampus. Karena itu, kampus yang belum memfasilitasi dosen untuk menulis dan menyunting buku, urgen memprogramkannya. Kampus yang belum menyertifikasi dosen sebagai penulis buku dan/atau editor buku urgen juga melaksanakannya.
LSP PEP pada 2023–2024 menjadi pelopor penyusunan SKKNI untuk pelaku perbukuan yang difasilitasi oleh Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek. Kerja sama dengan Pusat Perbukuan dalam rangka pembinaan pelaku perbukuan sudah terjalin sejak 2017 ketika LSP PEP difasilitasi sarana untuk menyelenggarakan pelatihan asesor kompetensi berlisensi BNSP kali pertama.
Berdasarkan SKKNI tersebut, LSP PEP sedang menyiapkan lebih dari 20 skema kompetensi baru di bidang penulisan buku dan penyuntingan. Untuk itu, kami sangat terbuka bekerja sama dengan berbagai kampus di seluruh Indonesia dalam sertifikasi kompetensi pelaku perbukuan.
Penulis: Bambang Trim
Keterangan: Artikel ini telah diterbitkan di Instagram @bambangtrim
*Penulis adalah akademisi dan praktisi di industri penulisan dan penerbitan dengan pengalaman 30 tahun. Ia telah menulis 300+ buku dan menyunting ribuan naskah buku. Ia juga menjadi perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia. Kini, ia menjadi Direktur LSP Penulis dan Editor Profesional; Anggota Komite Penilaian Buku Teks di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek; dan pendiri Institut Penprin.