Bambang Trim – KRJogja.com | Sebuah upaya telah dilakukan oleh Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro) yaitu menyusun Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3) untuk Penulis Buku Nonfiksi dan Editor serta mendirikan lembaga sertifikasi profesi. Upaya ini juga didukung oleh Ikapi, Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI), Polimedia, Puskurbuk (Kemendikbud), dan Balitbang Kemenkominfo.
Betapa banyak orang mengaku ia adalah penulis buku dengan embel-embel berbahasa Inggris: author. Namun, ketika dites pengetahuan dan keterampilannya tentang penulisan buku, ia malah tidak menunjukkan kompetensi layak disebut author—ia bahkan hanya menunjukkan portofolio satu buku karyanya.
Begitu juga dengan editor. Banyak sekali yang mengaku dirinya seorang editor dan mampu mengedit naskah. Namun, ketika diminta membedakan proses editing mekanis dan editing substantif, ia menjadi bingung sendiri. Belum lagi ketika ditanya tentang anatomi atau bagian-bagian tulisan yang harus diedit dan disusun sesuai dengan strukturnya, ia pun makin tidak mengerti.
Di Indonesia, industri perbukuan sudah tumbuh sejak zaman sebelum kolonial Belanda. Semasa penjajahannya, Belanda memperkenalkan industri penerbitan modern kepada masyarakat Indonesia sehingga profesi penulis dan editor juga mulai eksis. Namun, seiring waktu hingga 72 tahun merdeka, standardisasi dalam dunia penerbitan masih kurang mendapatkan perhatian sehingga industri penerbitan menjadi industri kreatif yang tidak memiliki SKKNI/SKKK untuk mengukur kompetensi para pelaku perbukuan—kalah dengan industri pers.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Asosiasi profesi pelaku perbukuan di Indonesia boleh dikatakan sangat minim dan yang eksis hanya satu asosiasi penerbit yaitu Ikapi. Adapun asosiasi penulis dan editor pernah didirikan, tetapi kemudian hilang ditelan masa. Syukur bahwa kini sudah ada dua asosiasi penulis yang berdiri dalam rentang waktu yang berdekatan yaitu Penpro didirikan pada Desember 2016 dan Satu Pena (Persatuan Penulis Indonesia) yang didirikan pada Mei 2017. Setelah terbentuknya kedua asosiasi ini, tentu jalan yang harus dirintis adalah menyusun SKKNI di bidang penulisan.
Upaya ini juga merespons diberlakukannya UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan yang telah disahkan pada tanggal 29 Mei 2017. UU sebagai dasar hukum tertinggi ini mendorong dilakukannya standardisasi oleh para pelaku perbukuan, yaitu penulis, penerjemah, penyadur, editor, ilustrator, desainer buku, penerbit, pencetak, pengembang buku elektronik, dan toko buku.
Khusus penulis, di dalam Pasal 43 UU No. 3/2017 disebutkan “Penulisan naskah asli Buku dilakukan sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik Penulisan naskah asli Buku”. Dengan demikian, UU telah mensyaratkan adanya standar, kaidah, dan kode etik yang berhubungan dengan kompetensi seorang penulis. Tidak ada yang lebih mengetahui tentang standar, kaidah, dan kode etik itu lebih dari para pelaku di bidang itu sendiri. Karena itu, seyogianya para pelaku berkumpul membentuk asosiasi profesi dan sama-sama menyusun standar kompetensi tersebut.
Telah dapat diprediksi bahwa ke depan lembaga-lembaga pemerintah, termasuk lembaga-lembaga swasta yang mengadakan pekerjaan penulisan atau penerbitan akan menetapkan syarat sertifikat kompetensi bagi para pelaku perbukuan, baik dalam proyek penunjukan langsung maupun tender. Ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi para penulis untuk—meminjam istilah seorang motivator—memantaskan dirinya, apalagi tidak ada satu bidang pun di dunia ini yang dapat lepas dari kegiatan tulis-menulis.